Tuesday, November 22, 2011

My Sweet Seventeen

 Ulang tahun paling mengesankan bagiku adalah saat aku memasuki usia tujuh belas tahun. Waktu itu aku duduk di kelas 3 SMA. Aku masih ingat, beberapa hari sebelumnya teman-temanku bilang bahwa mereka ingin merayakan ulang tahunku dengan acara makan-makan. Aku menyanggupi permintaan mereka. Karena itu sehari sebelumnya aku meminta tolong pada Bu Ninik, guru mata pelajaran Bahasa Jepang untuk membantuku. Kami berencana membuat masakan Jepang. Kebetulan Bu Ninik pandai memasak.
Aku tidak ingin membuat teman-temanku kecewa, juga tidak ingin merepotkan kedua orang tuaku. Aku sudah mengumpulkan uang sakuku sejak beberapa minggu sebelumnya, jadi pada saat hari H kami bisa berbelanja untuk acara masak-memasak di rumah Bu Ninik tanpa meminta uang tambahan pada siapapun.
Tak disangka, tepat pada hari ulang tahunku, uang yang aku perkirakan cukup ternyata masih kurang untuk membeli bahan-bahan masakan. Aku panik setengah mati. Aku meminta tolong salah satu sahabatku untuk patungan uang dengan teman-teman yang ingin ikut. Sebenarnya aku malu karena aku tak ingin merepotkan mereka. Tapi bagaimana lagi, aku juga sudah terlanjur meminta tolong pada Bu Ninik, jadi tidak mungkin begitu saja acaranya aku batalkan.
Aku beserta dua teman sekelasku naik ke mobil Bu Ninik sepulang dari sekolah. Kami berangkat ke sebuah supermarket di kawasan Basuki Rahmat Surabaya. Di tengah perjalanan Bu Ninik bertanya padaku ini ulang tahun yang keberapa. Aku menjawab, tujuh belas. Beliau kaget. Biasanya siswa kelas 3 SMA sudah berumur delapan belas tahun. Lalu kami membahas tentang masakan apa yang nanti akan kami buat. Pilihannya jatuh pada sukiyaki, masakan khas Jepang bercitarasa manis.
Aku dan kedua temanku membantu Bu Ninik memilih bahan apa saja yang akan dibeli. Kami bertiga saling berpandangan saat melihat daftar harga yang dipajang di tiap rak. Maklum, kami bertiga berasal dari kalangan biasa yang juga terbiasa berbelanja di pasar tradisional. Yah, harga berkaitan dengan kualitas, pikirku.
Selesai. Aku melihat total harga di counter kasir lalu memandang wajah kedua temanku. “Kurang,” bisikku cemas.
“Kenapa, mbak Rosa?” tanya Bu Ninik.
“Nggak, Bu,” jawabku sambil meringis menahan rasa cemas. Aku memberikan semua uang yang kumiliki kepada beliau. Itu saja sudah ditambah uang hasil patungan dengan teman-teman, rupanya masih kurang.
Bu Ninik mengambil uang Rp. 200.000,00 dari dalam dompetnya. Beliau berbaik hati membayar kekurangan uang kami. Aku merasa lega sekaligus malu. Aku merasa berhutang pada beliau.
Setelah itu kami langsung melaju menuju rumah Bu Ninik. Rumah beliau lumayan luas dan sejuk. Ada ibu Bu Ninik juga disitu. Kami bertiga bergegas membantu memasak sebelum teman-teman yang lain datang. Setelah sekitar satu setengah jam kami menyibukkan diri di dapur, akhirnya semua selesai. Lega rasanya.
Teman-teman mulai berdatangan. Mereka menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untukku. Aku malu sekaligus terharu. Baru kali ini setelah aku dewasa ulang tahunku dirayakan bersama teman-teman. Baru kali ini pula aku dan teman-teman mencicipi masakan Jepang. Sukiyaki yang tak terlupakan.
Setelah puas bercengkrama sambil menikmati masakan buatan Bu Ninik yang menurutku sangat manis –karena memang rasa asli sukiyaki adalah manis- kami pun pamit pulang.
Bu Ninik memanggilku. “Mbak Rosa, ini sukiyakinya masih ada. Nanti dibawa pulang ya?” kata beliau ambil memasukkan sukiyaki ke dalam rantang.
Bu Ninik ini baik sekali. Sudah mau direpoti, ikut menambah uang yang kurang, malah sekarang memberikan hasil masakannya untuk kubawa pulang. “Terima kasih banyak, Bu.” Hanya itu yang bisa aku katakan. Betapa luar biasanya guruku satu ini.
Seorang teman mengantarku pulang naik motor. Sepanjang perjalanan aku tersenyum, teringat ekspresi wajah teman-teman tadi. Kalau tidak ada Bu Ninik, mungkin ceritanya akan lain. Tak akan semengesankan ini.
Ibuku senang sekali saat aku memberikan rantang berisi hasil masakan Bu Ninik pada beliau. Baru kali ini keluargaku mencicipi masakan Jepang. “Kok repot-repot gini?” tanya ibuku saat aku menceritakan semua yang terjadi. Beliau pun merasa berhutang pada Bu Ninik.
Keesokan harinya ternyata ibuku mengisi rantang Bu Ninik dengan kue lapis legit. Sebagai balasan atas kebaikan Bu Ninik, kata beliau. Aku dengan senang hati membawa rantang itu ke sekolah dan memberikannya pada beliau.
My sweet seventeen, ulang tahun tak terlupakan sepanjang hidupku, seperti halnya Bu Ninik dan sukiyaki buatan beliau.

No comments:

Post a Comment