Friday, December 16, 2011

Kania

Aku menelungkup menutup kepalaku dengan bantal. Hari ini benar-benar menyebalkan. Kenapa sih sedikit-sedikit Kania, semua tentang Kania, seakan-akan hanya Kania saja yang ada di dunia ini. Aku akui, gadis itu memang cantik dengan postur tubuhnya yang tinggi semampai dan kulit putih mulus. Dia juga seorang gadis supel yang memiliki banyak teman. Parahnya, yang kusesali adalah kenyataan bahwa kami bersahabat
Aku duduk sambil memandang foto kami yang kupajang di atas meja, teringat saat pertama kali Kania datang ke kantor. Dia baru diterima kerja sekitar enam bulan setelah aku. Asalnya dari Lumajang.
“Halo, aku Kania. Nama mbak siapa?” sapanya sambil mengulurkan tangan padaku.
“Rani,” jawabku singkat. Aku tersenyum mempersilakan dia duduk di sebelahku. “Udah pesan makan, Mbak?” tanyaku basa basi. Kania menggelengkan kepala. “Tuh, disitu bisa mesen makanan apa aja.” Aku menunjuk mbak kantin yang sedang sibuk meladeni permintaan dari teman-teman.
“Oh, iya...aku kesitu dulu, mbak Rani. Pengen makan bakso.”
Aku menatap gadis itu. Kalem sekali kelihatannya.
Seiring waktu berlalu, aku dan Kania dengan cepat menjadi teman baik. Dia banyak bercerita tentang sahabatnya di Lumajang, tentang cita-cita dan tentu saja tentang cintanya. Aku tak banyak bercerita padanya. Aku memang tidak suka menceritakan kehidupan pribadiku pada orang lain, pada sahabatku sekalipun.
“Mbak Ran, ada cowok cakep baru pindah ke kosan sebelah,” cerita Kania pada suatu siang saat kami berjalan-jalan di mall.
“Oh ya?” tanyaku tak begitu antusias. Kulanjutkan memilih-milih kemeja casual untuk kerja.
“Iya mbak, ganteng deh pokoknya. Kulitnya putih, keren, orangnya pendiam, denger-denger dia itu cuek banget sama cewek.”
Aku tertawa kecil. “Kalo cuek ngapain kamu masih pengen deketin? Nggak asik ah..”
“Yee.. Justru itu asiknya, mbak. Cowok cuek itu bikin penasaran,” kata Kania sambil tersenyum genit.
Beberapa kali Kania mengajakku ke tempat kostnya. Nampaknya dia memang ingin menunjukkan betapa keren pangeran impiannya itu. Tak apalah, pikirku. Aku memang kadang bosan dengan rutinitasku berangkat kerja, lalu pulang ke rumah, lalu menenggelamkan diri dalam tulisan-tulisan di blog-ku. Akhirnya, pada suatu hari yang dingin dan basah setelah hujan turun dengan derasnya, laki-laki itu pun muncul. Dia baru pulang kerja. Kulihat dia memasukkan motornya ke garasi. Aku dan Kania yang berada di teras sebelah kosannya seakan-akan berubah menjadi makhuk invisible. Dia dengan cueknya membuka jaket dan segera masuk ke dalam rumah, tanpa menoleh sedikitpun pada kami.
“Oo...jadi ini yang namanya Chandra?” tanyaku.
Kania mengangguk. “Udah tiga bulan dia disini, tapi aku sama sekali belum pernah bertegur sapa dengannya,” jawabnya.
“Pantesan, sombong sih dia.” Aku sebal pada orang-orang yang cuek. Mereka seakan tidak membutuhkan orang lain.
Kania tertawa. “Mbak Rani nggak suka sama mas Chandra?”
“Nggak! Ogah banget naksir orang kayak gitu,” ucapku sambil memonyongkan bibir.
Mungkin ini yang dinamakan takdir hingga membuatku sampai mengenal Chandra, laki-laki cuek itu. Aku terjebak hujan deras ditengah perjalanan pulang dari kantor menuju rumah. Sayangnya aku tidak membawa jas hujan saat itu. Aku berlari-lari kecil menuntun motorku ke emperan toko yang kebetulan tutup. Selang beberapa menit kemudian seorang laki-laki ikut berteduh bersamaku. Dahiku berkernyit mengingat-ingat siapa lelaki itu, sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Aku tersenyum. Dia hanya menoleh kemudian menepuk-nepuk tas ranselnya yang basah.
“Dari tadi di sini?” tanya laki-laki itu tiba-tiba.
“Nggak, barusan aja,” jawabku.
“Kamu temannya cewek yang kost di samping kosanku ya?”
Oh, baru kusadari ternyata laki-laki ini adalah Chandra, si cuek yang begitu dipuja-puja Kania!
“Kok tau?” Aku balas bertanya. Heran, karena selama ini sepertinya dia tidak pernah menyapa kami. Jangankan menyapa, menoleh pun rasanya tidak pernah.
Laki-laki ini tertawa kecil. “Iya, udah beberapa kali aku lihat kamu disana.”
Hujan turun semakin deras. Tubuhku gemetar terserang hawa dingin dan air hujan yang makin membasahi pakaian yang kukenakan. Aku menggigil.
“Kenapa? Dingin ya?” Chandra melepas jaket merahnya. “Nih, pake aja,” ucapnya sambil mengulurkan jaket itu padaku.
Aku menggeleng ragu. “Nggak usah. Aku nggak apa-apa kok.”
“Udah, pake aja. Gemeteran gitu katanya nggak apa-apa.. Ntar balikinnya titipin aja ke temanmu.”
“Terima kasih,” ucapku lirih. Aku menerima jaket dari Chandra dan kupakai perlahan. Aku bingung harus berkata apa. Laki-laki itu ternyata tidak secuek yang ditunjukkannya.
“Namamu siapa?”
“Rani. Kamu Chandra kan?” Ups.. Kenapa pertanyaan ini harus meluncur dari bibirku? Aduh, bodoh!
“Yup,” jawabnya singkat.
Diam-diam kulirik lelaki di sampingku itu. Benar seperti apa yang Kania katakan, Chandra memang tampan. Kupikir dia hampir sempurna. Tiba-tiba aku berharap hujan tidak akan pernah berhenti agar aku bisa berlama-lama berada di dekat Chandra. Tanpa kami sadari, hari itu merupakan awal kedekatan kami berdua.
Kania takjub mendengar ceritaku. Dia tidak percaya bahwa makhluk cuek itu bisa bicara, maksudku bisa mengobrol denganku.
“Eh, mbak Ran, kemaren Arif habis nelpon aku,” kata Kania mengalihkan pembicaraan. Arif adalah sahabatnya yang tinggal di Lumajang.
“Ada apa?” tanyaku basa-basi.
Kania menceritakan tentang pembicaraannya dengan Arif kemarin malam. Jujur aku iri mendengar kedekatan Kania dengan sahabatnya itu. Aku jadi membandingkan persahabatanku dengan Rendy, temanku sejak kuliah. Aku dan Rendy sering ribut. Hal-hal kecil saja bisa membuat kami ribut dan tidak saling sapa selama beberapa hari. Sedangkan Kania dan Arif bisa dibilang tidak pernah bertengkar.
Ah, Kania. Aku iri padanya. Dia yang masih terhitung baru ternyata mampu mendapatkan perhatian supervisor kami. Aku memang tidak begitu dekat dengan bu Yayuk. Kupikir hubungan kami adalah hubungan profesional, itu saja. Tetapi berbeda dengan Kania. Sifat manjanya itu malah membuat hubungannya dengan Bu Yayuk semakin dekat. Seringkali aku hanya terdiam memandang mereka bercanda. Aku tersenyum menyapa beliau saat kami kebetulan berpapasan. Kupikir memang tidak ada yang membuatku lebih di mata beliau.
Rasa iriku pada Kania semakin menjadi-jadi saat dia dan mas Ardi, kekasihnya yang juga teman sekantor kami, mengajakku berjalan-jalan keliling Surabaya. Tentu saja, sebagai orang yang menumpang, aku duduk di kursi belakang mobil mas Ardi. Memandang mereka berdua bercanda dan tertawa mesra membuat hatiku terluka. Bagaimana tidak, aku pernah memimpikan hal ini tetapi kenyataan malah berpihak pada Kania. Baik, kuakui saat ini aku telah jatuh cinta pada Chandra. Aku pernah bermimpi naik mobil bersama Chandra, sedangkan Kania duduk di kursi belakang. Semua yang terjadi ini membuatku ingin menangis saja.
*****
“Mbak, aku pengen cerita,” ucap Kania pelan.
Aku tertegun memandangnya. Mata Kania berkaca-kaca. “Ada apa, Nia?” tanyaku sambil menyentuh pundaknya. Dia diam. “Sudah, habiskan dulu sotonya, ntar keburu dingin. Nanti aku main ke kosanmu ya?”
Pulang kerja aku langsung berangkat ke kosan Kania. Kuletakkan tasku di atas ranjangnya.
“Maaf, kamarku berantakan. Lagi males bersih-bersih,” ucapnya sambil merapikan barang-barang yang berserakan di lantai.
“Nggak apa-apa.” Aku tersenyum. Kuperhatikan kamar bercat pink ini. Semua pernak-pernik disusun rapi, mencerminkan sifat Kania yang perfeksionis.
“Mbak Rani, jujur ya, mbak pernah denger gosip apa tentang aku di kantor?”
Aku menggeleng. “Nggak pernah denger apa-apa, Nia. Memangnya kenapa ya?” tanyaku bingung.
“Aku nggak sengaja denger waktu Alya dan Mita lagi ngobrol di toilet. Mereka ngomongin aku, mbak. Ya ampun, jahat banget kata-kata mereka.” Mata Kania mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tau harus gimana, mbak. Aku gini salah, gitu salah. Apa karena aku deket sama Bu Yayuk, terus dikira aku penjilat gitu ya? Padahal nggak, mbak, aku nggak punya niat seburuk itu..” lanjutnya sambil mengusap air yang mengalir di pipinya yang putih.
Aku menghela napas panjang. “Gimana ya? Biar aja teman-teman mau bilang apa, yang penting kamu nggak kayak gitu.”
“Mbak, aku baru putus sama mas Ardi.”
“Lho, kenapa?” Aku makin bingung. Tadi pagi aku bertemu mas Ardi di tempat parkir dan dia terlihat baik-baik saja.
“Banyak hal yang bikin aku mutusin ini, Mbak. Salah satunya gosip tentang hubungan kami. Udah nyebar ternyata, mbak. Padahal aku sama mas Ardi jarang terlihat bareng di kantor. Bahkan hampir nggak pernah.”
“Lha terus hubungannya apa, gosip sama putusnya kalian?”
“Aku nggak tahan denger omongan orang-orang. Mereka jelek-jelekin aku. Mbak kan tau sendiri, mas Ardi itu orang kepercayaan bos. Lagi-lagi mereka pikir aku cuma manfaatin mas Ardi untuk kepentinganku sendiri. Capek aku, mbak..”
Aku hanya bisa diam mendengar keluh-kesah Kania.
“Mbak tau nggak, selama ini aku nggak pernah cerita tentang masalah pribadiku pada teman-teman kantor? Aku nggak percaya mereka semua, kecuali mbak Rani,” lanjutnya, “Aku percaya mbak Rani nggak pernah mikir dan ngomong jelek tentang aku.”
Jlebb!! Kalimat terakhir Kania terasa menusuk jantungku. Selama ini aku merasa jengkel dan iri padanya, dan dia tidak pernah tahu hal ini. Aku pun pernah menyesali kenyataan bahwa dia adalah sahabatku.
“Mbak..” Kania menyentuh lembut pundakku. “Kok ngelamun?”
“Ah, nggak kok.” Aku paksakan bibirku tersenyum.
“Mbak Rani itu salah satu orang yang aku kagumi, lho. Mbak manis, wajah mbak sedap dipandang. Kalo aku kan menang putih aja. Kadang bikin aku iri lihat mbak Rani.” Kania tersenyum. Mendung di wajahnya sudah tidak terlihat lagi. “Mbak beruntung bisa mendapatkan perhatian mas Chandra. Oh iya, satu lagi. Kata bu Yayuk kerjaan mbak Rani bagus, rapi dan sistematis, nggak berantakan kayak kerjaan teman-teman yang lain.”
Oh Tuhan, aku merasa terbang ke langit. Antara percaya dan tidak dengan perkataan Kania. Aku memeluk gadis itu. “Makasih ya, sayangku. Maaf kalo mbak pernah jahat sama kamu,” ucapku penuh sesal. Air mata menitik di sudut mataku.
Aku baru menyadari, ternyata setiap orang memang punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tak ada gunanya kita iri pada keberhasilan orang lain karena sebenarnya kita pun punya potensi yang sama, bahkan mungkin lebih. Dan satu lagi. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Kania yang menyadarkanku akan hal ini.
*****

No comments:

Post a Comment